Media Indonesia: Belajar Membuat Robot Sederhana Utamakan Edukasi dan Permainan

Sepuluh tahun yang lalu …

BELAJAR membuat robot ternyata bisa juga diajarkan sejak dini. Tentu saja, robot yang dihasilkan adalah robot yang sangat sederhana. Namun, yang utama, unsur edukasinya telah sampai kepada anak-anak.

“KITA bisa bikin robot sendiri Pak?” Itulah kalimat yang pertama kali keluar dari mulut wajah-wajah polos itu.

Buat sebagian besar anak-anak Indonesia, robot masih menjadi bagian imajinasi film-film kartun. Maka, kegiatan membuat robot jelas menjadi aktivitas yang sangat atraktif, menantang dan bahkan luar biasa.

Maka, sibuklah anak-anak Sekolah Dasar (SD) Al Hikmah Surabaya itu membuat proyek robotnya. Sebuah robot sederhana yang terbuat dari rangka mesin mobil-mobilan tamiya yang ditempeli stik es krim. Selain sebagai bahan pembuat bodi, stik es krim juga berfungsi sebagai pelontar.

Sesekali mereka berceloteh, membayangkan kehebatan robot ketapel ciptaanya. Dengan tekun mereka merangkai stik es krim yang ditempel lem pada rangka mobil tamiya. Bahkan, ketika memasuki tahap memasang pelontar ketapel, juga dari stik es krim yang direkat dengan selotip, mimik merek menjadi lebih serius. Pasalnya, pelontar itulah yang akan menjadi penentu kehebatan robot mereka saat diadu nantinya.

Sejak April 2002, kegiatan mengajar anak-anak membuat robot menjadi kegiatan rutin Arief Yudanarko setiap Sabtu pagi. Ia beserta timnya dari Pusat Pengembangan Teknologi pada Anak Cerdikia mengisi kegiatan ekstrakurikuler robotik pada murid-murid SD Al Hikmah. Beragam jenis robot sederhana telah mereka perkenalkan, mulai robot ketapel, robot tikus hingga robot penyapu sampah. Untuk menciptakan suasana kompetisi, setiap hari besar, peringatan Tahun Baru Islam 1 Hijriah misalnya, diadakan lomba antarkelas.

“Ini semua berangkat dari keprihatinan saya tentang rendahnya pemahaman tentang teknologi pada generasi muda kita. Robot, misalnya, sebagai salah satu wujud teknologi masih identik dengan film atau tokoh imajinasi, semisal Robocop,” ujar Arief, pendiri dan pengelola Cerdikia.

Padahal, lanjut Arief, teknologi telah begitu lekat dengan kehidupan kita. Hampir tidak ada satu pun aktivitas manusia yang dapat berlangsung tanpa peran serta teknologi.

“Saya bercita-cita memperkenalkan anak-anak pada teknologi sedini mungkin. Agar bangsa kita tak lagi hanya jadi konsumen teknologi, tapi juga produsen yang inovatif,” ujar Arief yang pernah mewakili Indonesia pada International Robot Contest (IRC) 1995 di Osaka Jepang.

Arief bahkan rela melepas pekerjaannya yang telah mapan di Radnet, sebuah perusahaan teknologi informasi ternama di Surabaya. Kini, lelaki lulusan Institut Teknologi Surabaya (ITS) (ralat: lulusan PENS – Politeknik Elektronika Negeri Surabaya) itu berkonsentrasi penuh pada Cerdikia. Ia kini tengah menjajaki pembelajaran robotik di sekolah lain.

Lelaki kelahiran 25 Maret itu berupaya menjadikan Cerdikia sebagai lembaga yang profesional. Untuk itu, pencetakan tenaga pengajar yang berkualitas pun menjadi agenda utama. Selain itu, yang paling utama adalah penciptaan kurikulum. Seluruh materi diupayakan bersifat sederhana, mudah dimengerti namun merangsang daya kreasi anak.

Berguru pada Jepang

Indonesia, kata Arief, perlu berguru pada Jepang. Di Negara Matahari Terbit itu, anak-anak telah diperkenalkan pada teknologi sejak bangku taman kanak-kanak (TK). Bahkan, secara rutin perusahaan-perusahaan penghasil robot mempresentasikan robot kreasinya ke sekolah-sekolah. Robot humanoid Asimo dan robot anjing Aibo produksi Honda pun dijual bebas dengan harga terjangkau. Sementara di Indonesia, pameran Asimo diselenggarakan sebagai acara selingan dalam arena pameran otomotif. Jelas, bukan ajang edukasi yang tepat bagi anak.

“Untuk memperkenalkan ilmu pengetahuan (iptek) pada anak, sebenarnya tidak perlu membawa Asimo atau Aibo ke kelas. Kita dapat membawa kipas angin atau menunjukkan mesin cuci, karena perangkat teknologi sederhana itu sebenarnya adalah robot juga. Jika kita terus menempatkan teknologi termasuk robotik sebagai sesuatu yang rumit dan tidak terjangkau makin sulit kita mengejar. Itulah, filosofi dasar Cerdikia,” ujar Arief bersemangat.

Robotik, seperti juga inovasi teknologi lainnya memang masih menjadi makhluk ‘asing’ buat sebagian besar masyarakat Indonesia. Ketika Jepang telah mampu menciptakan robot yang pandai menari, mahasiswa Indonesia yang mengikuti Indonesia Robot Contest (IRC) 2003 lalu, baru mampu berkreasi dengan robot berangka aluminium pelontar bola takraw.

Hingga kini, Indonesia belum mampu berbicara dalam kontes robot internasional bahkan regional sekalipun.

“Kuncinya, jangan pernah memarginalkan kemampuan bangsa kita dengan menempatkan teknologi sebagai sesuatu yang tak terjangkau. Kapan kita berhenti sebagai pengguna yang konsumtif?” tanya Arief lugas.

Tentunya, kata Arief, perkenalan anak-anak dengan dunia teknologi baru dapat terwujud jika terjadi kolaborasi antara pihak sekolah dengan orang tua. Orang tua sebaiknya tidak hanya menjejali anak dengan target prestasi akademis semata. Akibatnya, daya kreasi anak perlahan tidak berkembang.

Di sisi lain, Arief juga mengimbau pihak sekolah agar mau membuka pintu bagi sejumlah ekstrakurikuler alternatif. Hingga kini belum banyak sekolah yang menyelenggarakan ekstrakurikuler bermuatan teknologi. Ekstrakurikuler robotik, seperti yang diselenggarakan SD Al Hikmah, ditengarai belum banyak diadakan sekolah lain.

Padahal, untuk memulai demam teknologi di kalangan anak Indonesia, kata Arief, kita tidak perlu mengimpor kit permainan robotik produksi Lego Mindstrom. “Misalnya, dengan membeli tamiya yang kini harganya cuma Rp8.000, anak-anak dapat diperkenalkan pada fungsi motor, gerak dan kecepatan,” ujar Arief.

Namun, yang terjadi selama ini, permainan anak hanya menjadi pemicu budaya konsumerisme semata. Pada tahap lebih lanjut, mainan anak yang berfungsi edukasi akan membuat anak lebih kritis dan leluasa berkembang, baik dari sisi motorik, afeksi dan psikomotorik. Sayangnya., lanjut Arief, orang tua lebih memilih membelikan anaknya Play Station yang membuat anak betah di rumah namun cenderung membuat anak tak berkembang optimal. (Iis Zatnika/B-2)

Media Indonesia, 29 Januari 2004.

This entry was posted in Berita and tagged , , . Bookmark the permalink.