Berikut ini adalah tulisan dari Pak Adriano Rusfi di sebuah forum. Silakan menyimak tulisan, semoga menjadi inspirasi.
—
Mengajar di sebuah Fakultas Teknik sebuah kampus prestisius membuat saya terkesima. Di gerbangnya saya dihadang oleh sebuah tulisan megah : Faculty of Engineering. Yup ! Itu adalah terjemahan bahasa Inggris dari “Fakultas Teknik”. Tapi saya coba simpan gelisah dalam-dalam, sampai seseorang yang kompeten dapat menjelaskannya. : Kenapa Fakultas Teknik, bukan Fakultas Teknologi ? Kenapa Faculty of Engineering, bukan Faculty of Technology.
Gelisah itu terlupakan saat saya mulai mengajar topik “Technological Performance Index”. Dan saya memang sangat mudah lupa. Saya, seperti biasa, dengan sangat bergairah bercerita tentang sebuah indeks yang dapat mengukur pencapaian teknologis sebuah bangsa. Ada Technological Behavior, ada Technological Result, ada Technological Mission. Sebuah anomali, memang, kok seorang psikolog hobby betul mengurusi teknologi.
Lalu, gelisah itu menyeruak lagi, saat seorang mahasiswa berkata :
“Sebenarnya kampus telah mengajarkan kami teknologi secara benar. Tapi negaralah yang sebenarnya bersalah besar tak mengurus teknologi di jalan yang seharusnya. Bukan sekadar tentang teknologi, bahkan kami diajarkan Technopreneurship dan Etika Engineering”
Tiba-tiba saya seperti mendapatkan sebuah titik terang untuk bertanya sekaligus klarifikasi :
“Apa yang anda pelajari tentang Etika Engineering ?”
Tampaknya dia seorang mahasiswa cerdas dan berkarakter, sehingga menjelaskannya dengan cukup panjang dan jelas. Diantaranya adalah :
“Kami belajar tentang kaidah, metode, prosedur dan standard moral dalam mengutak-atik dan mengembangkan sebuah teknologi”
Ufff…. Saya menghembuskan napas panjang…. Jadi, engineering adalah ilmu utak-atik terhadap sebuah (produk) teknologi. Semacam mengutak-atik kulkas sehingga bisa berubah menjadi AC ? Itukah engineering : rekayasa ? Wow, pantesan bangsa ini tak kunjung menguasai teknologi, karena teknologi identik dengan engineering, dan engineering identik dengan utak-atik.
Sebuah keliru besar jika teknologi dipahami sebagai benda konkret dengan konstruksi yang rumit. Sebuah keliru besar ketika teknologi tak lagi dibedakan dengan produk teknologi. Padahal, selama kata “logi” masih bersemayam di belakang kata “tekno”, maka sesungguhnya “teknologi” adalah sesuatu yang abstrak : sebuah formula, sistem atau blueprint. Sedangkan kulkas dan AC adalah produk teknologi, bukan teknologi itu sendiri.
Sedangkan tentang engineering yang dianggap identik dengan teknologi, sebenarnya nggak salah-salah amat. Teknologi memang buah rekayasa, tapi rekayasa terhadap gejala, bukan rekayasa terhadap benda. Kehadiran AC adalah upaya rekayasa terhadap suhu, bukan rekayasa terhadap kulkas. Jadi, jika anda ingin menghasilkan AC, maka datanglah ke gurun, rasakan panas suhunya, lalu rekayasalah lewat produk tertentu agar suhunya menjadi sejuk. Bukan malah datang ke laboratorium pendingin untuk mengutak-atik kulkas agar berubah menjadi AC.
Inilah yang disebut sebagai fungsi ke lima dari sains, yaitu “memanipulasi gejala”, yang dalam bahasa teknologi disebut engineering. Tapi, begitulah nasib bangsa ini. Ketika teknologi dipahami sebagai sesuatu yang kongkret, bukan sesuatu yang abstrak, maka engineeringpun identik dengan utak-atik benda canggih, bukan utak-atik gejala. Entah kenapa, pendidikan kita selalu keliru.