Bangunan seperti kios itu terletak persis di seberang SDN Pilang, kira-kira 50 meter dari perempatan Pilang, Sidoarjo, Jawa Timur. Di ruang yang agak lebih luas daripada garasi mobil itu, tampak lima remaja sedang sibuk memainkan solder untuk memperbaiki robot rakitannya pada pertengahan Februari lalu. Arief A. Yudanarko, yang biasa dijuluki Yuda Robot, mengawasi mereka.
Itulah “pabrik” Komunitas Kampung Robot, komunitas robotika yang digagas Yudanarko, pengajar robotika lulusan Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Kantor komunitas itu berada di Graha Kuncara, Kemiri, Sidoarjo. Tapi di “kios” inilah robot-robot itu dibikin hingga siap digunakan oleh masyarakat yang berminat untuk belajar membuat robot.
Para remaja itu sebagian pelajar dan sebagian baru lulus dari sekolah menengah kejuruan. Sigit, yang duduk di kelas III SMK 2 Krian, Sidoarjo, sangat senang bisa bergabung dengan komunitas ini karena sangat mengemari elektronik. “Keren jika masih pelajar seperti saya sudah bisa merakit robot,” ujarnya.
Pada awalnya, kata Sigit, dia tidak tahu soal alat atau bahan pembuatan robot. Setelah beberapa lama dibimbing Yudanarko dan Anton Widarmono–koordinator produksi Komunitas Kampung Robot–dia jadi paham semua alat dan sistem yang ada dalam sebuah robot. “Sekarang kami tinggal mempraktekkannya,” katanya.
Fadil, lulusan SMKN 1 Sidoarjo pada 2012, baru tiga tahun bergabung di sini. Dia kini tidak hanya pandai merakit robot, tapi juga sudah memahami pemrograman robot. “Sangat banyak manfaatnya saya bergabung di komunitas ini. Bisa belajar semua ilmu,” ucapnya sambil terus merakit sebuah robot yang sudah dipesan seseorang.
Anton mengatakan, mereka sedang menggarap pesanan 20 robot. Sejak “pabrik” ini berdiri, banyak pesanan berdatangan. Bahkan ada orang yang pernah memesan 100 unit untuk dipraktekkan di sekolahan. Semua pesanan itu digarap oleh anggota komunitas, yang rata-rata masih sekolah atau baru lulus sekolah kejuruan. “Harga robot kami bermacam-macam, dari Rp 100 ribuan sampai Rp 250 ribu, tergantung komponen yang dipasang di robot tersebut. Semakin canggih bahannya, semakin mahal pula harganya,” ujarnya.
Laki-laki warga Pilang ini mengatakan, jika kebanjiran order, mereka tinggal memanggil anak didiknya, yang anggota Kampung Robot. Dengan cara itu, para siswa mendapat tiga keuntungan. “Mereka bisa belajar merakit berbagai bentuk robot, bisa melatih keahliannya dan jerih payahnya diberi honor,” ujar Anton. Berbagai pesanan itu menunjang keuangan komunitas.
Mereka biasanya membongkar mainan mobil-mobilan dan mengubahnya menjadi lebih canggih. “Untuk bahannya, yang masih bisa dijangkau biasanya kami beli di Pasar Genteng, Surabaya. Jika tidak ada, kami menghubungi rekan komunitas lain yang ada di Indonesia atau ke rekan komunitas di Cina,” kata Anton.
Yudanarko mendirikan komunitas ini karena terilhami oleh pengalamannya mengikuti perlombaan robot Robocon 1995 di Osaka, Jepang, ketika masih berkuliah di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya. Saat itu, dia dan timnya mewakili Indonesia di kompetisi robot internasional itu. Meskipun timnya tidak membawa pulang piala apa pun, lelaki kelahiran Bojonegoro, 20 Maret 1975 itu bangga sudah bisa mengikuti kompetisi tersebut.
Di sana, dia melihat bahwa kemampuan robot Indonesia sebetulnya sama dengan robot negara lain. Pada bagian permainan bola robot, misalnya, robot kita sudah menendang bola, meskipun tidak masuk ke gawang. Padahal ada robot dari Amerika Serikat malah tidak bisa berjalan dan tidak bisa menendang bola. Cara bergerak dan berjalan robot kita juga sama dengan robot lain. Bedanya, robot lain lebih canggih. “Kami tidak kalah dalam masalah ide, tapi kalah dalam hal kecanggihan robot,” kata Yudanarko.
Yudanarko pun tertarik untuk menyebarkan “virus robot” di indonesia. Dosen pembimbingnya di kampus juga mendukung. Pada 2001, dia mengajar pelajaran ekstrakurikuler elektronika di SMA Al-Hikmah Surabaya (koreksi: SD bukan SMA). Pelajaran itu kemudian dia ganti menjadi ekstrakurikuler robot. Sejak saat itu, banyak sekolah yang tertarik belajar robotika.
Yudanarko kemudian mendirikan komunitas robot Cerdikia. Kian tahun peminatnya bertambah, hingga pada 2010 Cerdikia bergabung dalam Pusat Pelayanan Pendidikan Masyarakat dan lahirlah Komunitas Kampung Robot.
Komunitas ini berangkat dari dua visi: Kampung Robot dapat dijangkau oleh banyak orang dari berbagai kalangan dan pengembangan komunitas seperti di kampung, yang warganya mudah bekerja sama dan gotong-royong. “Cita-cita besar saya kelak ingin punya kampung yang semua warganya menciptakan robot,” tuturnya.
Untuk mewujudkan visi itu, mereka membina semua anggota untuk menjadi instruktur pelatihan robotika dan menciptakan robot baru yang bermanfaat. “Dari pengalaman saya sejak 1995, maka saya menciptakan program Sinaoro, yang merupakan rangkuman atau materi dasar untuk menciptakan robot,” ujar Yudanarko.
Program Sinaoro, kata dia, merupakan paket perakitan robot, seperti Soccerman, robot pemain bola yang digerakkan secara manual; Visiobot, robot otonom sederhana yang dapat menghindari rintangan; X-Lite, yang dapat menjejak garis dengan berbagai sensor; Prolite, penjejak garis yang diprogram; Progobot, penghindar rintangan yang diprogram; serta Promise, robot otonom yang diprogram dan dengan berbagai sensor.
“Semua paket program ini bisa menciptakan robot hingga tak terhingga jumlahnya, tergantung pembuatnya mau menciptakan robot apa,” kata Yudanarko. Dia mencontohkan, bila orang ingin menciptakan robot pengantar makanan, maka tinggal diprogram dengan Sinaoro di komputer untuk mengantarkan makanan.
Untuk pemrogramannya, Yudanarko lebih suka menggunakan peranti lunak sumber terbuka (open source), yang bebas digunakan siapa pun, agar orang dapat menggunakannya tanpa izin tertentu. “Warga Indonesia masih banyak yang “gaptek”. Jika ingin belajar robot, harus pakai izin dulu, maka saya yakin akan mengendurkan semangat mereka,” ucapnya. MOHAMMAD SYARRAFAH