Tulisan berikut diambil dari rubrik Profil Tabloid Komputek Edisi 794 Minggu ke-4 September 2012, yang berisi wawancara Mas Sigit dari Komputek dengan Yudanarko, pendiri KampungRobot.Net.
Arief A. Yudanarko punya keinginan yang kuat untuk memajukan edukasi robot di Indonesia. Pria kelahiran Bojonegoro 37 tahun silam ini lebih dikenal dengan nama Yuda Robot, karena dunia robot yang melekat pada dirinya sejak masuk bangku kuliah. Negeri Sakura jadi tempat pertama, ia belajar robot. Karena pengalaman dan prestasi bapak dari Zayd dan Khonsa ini, tak jarang ia diundang sebagai pembicara di beberapa workshop tentang robot di sekolah-sekolah dan instansi terkait. Kini dengan komunitas robot yang ia miliki, visinya memajukan dunia pendidikan dalam dunia robot sudah tepat, tinggal dukungan pemerintah untuk memuluskan jalan. Berikut wawancara kami dengan beliau.
Pertama-tama bisa perkenalkan diri Mas Yuda kepada pembaca Komputek, dan latar belakang Anda?
Sejak aktif sosialisasi robot di sekolah-sekolah, teman-teman memanggil saya Yuda Robot. Ini untuk membedakan dengan nama Yuda atau Yudha yang lain karena di lingkungan saya saja ada beberapa orang yang nama panggilannya Yuda.
Saya menghabiskan masa kecil di daerah Bojonegoro, di pinggir bahkan di tengah hutan di sekitar Bengawan Solo karena ayah saya, Soeprijono seorang pegawai Perhutani. Kedekatan pada alam dan kegemaran untuk membuat mainan bersama teman-teman di masa kecil rupanya begitu kuat pengaruhnya sehingga sampai sekarang masih suka mengutak-atik mainan.
Memasuki masa remaja ayah saya dipindahtugaskan di Bangkalan. Rumah dinas yang kami tempati berada di tengah kota. Apalagi Bangkalan dekat dengan Surabaya sebagai ibukota propinsi. Maka, wawasan saya bertambah dan dari sini perkenalan saya pada mainan elektronik bermula.
Jika sekarang saya aktif memberikan pelatihan atau mengajarkan robotika di sekolah-sekolah, baik bagi siswa maupun guru, ini semua tak bisa dipisahkan dari pengaruh orang tua saya, para guru/dosen, dan keluarga. Ibu saya, Murtini pernah menjadi guru dan ayahnya – kakek saya – adalah guru pertama di desa kelahiran ibu saya. Istri saya, Indriana pun seorang guru dan kedua orang tuanya – mertu saya – semuanya guru. Jadi, sepertinya darah guru telah mengalir dalam diri saya dan semakin kuat alirannya.
Bisa diceritakan sedikit bagaimana Mas Yuda bisa terjun ke dunia robotik?
Lulus dari SMAN 1 Bangkalan, saya diterima di PENS. Inilah awal perkenalan saya dengan robotika. Puncaknya pada tahun 1995, tim saya terpilih untuk mewakili kampus memenuhi undangan mengikuti Robocon 1995 di Osaka Japan. Saya bersama Agus Setiyo BN (sekarang menjadi dosen di Politeknik Negeri Banjarmasin) dan Dian Candra Kusuma (sekarang menjadi profesional TIK) mengerjakan robot selama satu bulan dibimbing oleh Pak Endra Pitowarno. Kemudian bersama Pak Anang Tjahjono, Pak Nuh (sekarang Mendikbud), dan Sensei Takashi Tsuzuki (JICA) kami berangkat ke Osaka.
Di sela-sela persiapan lomba, kami diajak mengunjungi beberapa tempat. Salah satunya HAVOC, semacam balai pelatihan kerja. Kebetulan saat itu ada Pak Indra Adji Sulistijono (sekarang Kepala Departemen Mekatronika dan SPE PENS) yang sedang mengikuti pelatihan di sana. Yang membuat saya terkesan, di sana ada siswa-siswa setara SMP di sini yang sedang dilatih sebagai persiapan untuk mengikuti lomba robot satu bulan yang akan datang. Kesan ini lekat dalam kenangan saya hingga sekarang. Apalagi, Sensei Tsuzuki berpesan agar sepulang dari Jepang kami segera membuat kegiatan sosialisasi robot di sekolah-sekolah.
Baru pada pertengahan tahun 2000 saya mengumpulkan informasi dan dokumentasi kegiatan robotika dari internet. Dan, alhamdulillah, saya mendapatkan tawaran mengajar ekskul di SD Al Hikmah Fullday School Surabaya. Awalnya saya hanya sebagai guru pengganti ekskul elektronika. Namun materinya saya arahkan ke robotika.
Apakah ketika mengerjakan proyek robot Mas Yuda melibatkan sebuah tim?
Ya, saya membutuhkan tim untuk mengerjakan proyek robot. Bagi saya, membangun sebuah robot hendaknya menjadi media untuk belajar tentang teamwork. Tetapi di awal saya memulai, yaitu pada tahun pertama mengajar ekskul, sebagian besar saya kerjakan sendiri karena usaha saya mencari partner belum berhasil.
Tahun 2006 saya bertemu Yudi Tri Wibowo yang kemudian ikut bersama dalam usaha sosialisasi robotika di sekolah. Menyusul kemudian Anton Widarmono dan beberapa teman lain sampai terbentuk Komunitas Robotika Sidoarjo. Di tingkat nasional ada Grup Robot Indonesia yang diprakarsai oleh Adiatmo Rahardi dari Jakarta.
Bahasa pemrograman apa saja yang biasa Anda gunakan untuk menbangun satu rangkaian perintah dalam robot?
Saya lebih akrab dengan bahasa C karena memang pada waktu kuliah dulu robot saya dan tugas akhir saya menggunakan bahasa C.
Sepanjang karir Anda apakah ada cerita menarik tentang robot yang bisa di sharing dengan kita?
Ada banyak cerita menarik, terutama saat-saat mengajar atau memberikan pelatihan. Kejadian yang membuat saya shock tapi sekaligus membuat tersadar akan tantangan di dunia pendidikan adalah komentar anak-anak di akhir proyek robot pertama ekskul robotika. Komentarnya begini, “Kok cuma begini saja robot yang kita buat.”
Kejadian itu di tahun 2001 begitu robot soccer manual selesai dan siap dimainkan. Saya bertanya kepada anak-anak apakah ada yang kurang dengan robot yang kita buat. Mereka menjawab bahwa di rumahnya ada banyak mainan yang lebih canggih. Inilah yang membuat saya sadar bahwa selama ini sebagian anak-anak kita terlanjur asyik dengan mainan jadi, mainan instan. Beda dengan masa kecil saya, mainan dibuat sendiri.
Selain cerita unik apakah ada pengalaman sedih ketika berhadapan dengan robot atau customer?
Kalau sedih karena robot, biasanya karena robot yang dibuat tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tapi yang seperti ini malah menjadi tantangan.
Yang membuat saya lebih sedih adalah ketika ada anak-anak yang ingin belajar membuat robot tapi tidak bisa karena terkendala biaya.
Dalam dunia robot sendiri adakah genre-genre-nya? Mas Yuda masuk dalam wilayah apa?
Bicara tentang genre, saya kurang tahu ada berapa banyak. Namun, sesuai fokus saya yaitu robotika di lingkungan sekolah bukan perguruan tinggi, kalau boleh saya kelompokkan menjadi dua saja yaitu robot pabrikan atau kit dan handmade robot.
Saya cenderung pada handmade namun ada kalanya butuh yang pabrikan. Dan tagline saya adalah robot murah dan mudah. Ini sebagai bentuk perhatian saya atas apa yang saya sedihkan itu.
Ketika coding, platform apa yang sangat familiar? Bisa jelaskan sedikit?
Untuk saat ini saya masih jarang menggunakan robot dengan mikrokontroler yang membutuhkan coding, karena fokus garapan saya di sekolah-sekolah, mulai SD hingga SMA dan kebanyakan masih menggunakan robot analog. Ada sebagian yang sudah menggunakan platform tertentu. Kebanyakan yang sudah digunakan saat ini dibangun dengan PIC dan Atmega. Belakangan mulai ada yang ARM.
Kalau soal ini, menurut saya akan terus berkembang mengikuti trend produk.
Menurut Anda di Indonesia sendiri sudah sampai mana perkembangannya? Dibanding dengan luar negeri?
Indonesia termasuk negara yang mengalami percepatan dalam bidang robotika walaupun porsi besarnya masih di lingkungan akademisi. Kalau di luar negeri, teknik-teknik dalam robotika sudah dapat dijumpai di berbagai tempat. Contohnya vending machine yang sudah banyak di pinggir jalan saat saya ke Osaka tahun 1995 dulu.
Upaya-upaya untuk menjadikan robot sebagai solusi bagi permasalahan, baik di dunia industri maupun dalam pekerjaan keseharian perlu terus kita lakukan. Ini sudah mulai tampak.
Sudah pantaskah Robotik masuk dalam mata pelajaran pendidikan formal di Indonesia?
Robot dan robotika merupakan paduan dari berbagai disiplin ilmu dan keterampilan. Mempelajarinya – khususnya bagi pelajar – dapat mengembangkan banyak aspek, mulai dari berpikir, motorik, sosial, dan lainnya. Kalau robotika dimasukkan dalam mata pelajaran pendidikan formal di Indonesia saat ini sepertinya terlalu dini. Mungkin di SMK. Tetapi kalau ada sekolah yang ingin menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan intrakurikuler atau kokurikuler, bukan hanya ekstrakurikuler ya tidak ada salahnya. Yang perlu diperhatikan adalah tujuannya. Jangan semata-mata untuk branding sekolah.
Kalau melihat pada sejarah bagaimana robotika sampai di sekolah, kita akan bertemu dengan salah satu teori dalam pendidikan yaitu konstruktivistik. Saya mengutip pernyataan Prof. Seymour Papert, seorang profesor learning research dari MIT pengikut konstruktivistik yaitu, “Knowledge is only part of understanding. Genuine understanding comes from hands-on experience.” Dari laboratoriumnya lahir modul robotika yang kemudian digunakan di sekolah-sekolah.
Selain otak atik komponen dan coding, apa lagi kegemaran Mas Yuda?
Hampir semua kesibukan saya bermuara pada pendidikan. Selain di bidang robotika, saya menjadi pengurus lembaga pendidikan Pesantren Tahfidz Al-Qur’an SMPIT Darul Fikri Sidoarjo. Jika sedang di rumah, sebagian waktu saya habis untuk utak-atik robot dan mengembangkan materi pelatihan. Sebagai selingan, kadang saya jalan-jalan ke toko buku dan toko mainan untuk mendapatkan ide-ide baru. Selain itu saya suka memotret tapi belum pantas lah kalau disebut hobi fotografi.
Apa rencana kedepan Anda dalam hal robotik yang bisa dishare sama kami?
Saya sedang sosialisasi untuk adanya event pameran robot. Terserah siapa nanti yang akan mengawali. Yang selama ini ada dan sering – kalau dihitung rata-rata hampir setiap bulan – adalah lomba atau kompetisi. Pameran akan menjadi media apresiasi bagi siapa saja yang telah berkarya, mulai dari pemula sampai ahli, apapun hasil karya mereka. Namun lomba memiliki kriteria tertentu yang membatasi sehingga tidak semua orang bisa turut serta.
Pertanyaan terakhir, apa pesan Anda untuk pembaca Komputek yang ingin memulai hobi robot? Apakah ini termasuk hobi yang mahal?
Membangun robot punya arti khusus bagi saya, yaitu membangun karakter. Seperti saya sebut sebelumnya, ada banyak aspek yang bisa dikembangkan melalui proyek robotika. Karena itu, belajar robotika jangan hanya untuk mencari prestise. Niatkanlah untuk ilmu dan memberi manfaat bagi masyarakat. Mulailah dari yang mudah dan terjangkau.
Nggak ada hobi yang mahal, karena walau berapapun biayanya tetap saja diinginkan. He he he …
Tapi, untuk rata-rata masyarakat Indonesia tentu saja mahal. Inilah yang mendorong saya untuk membuat proyek-proyek robot murah dan mudah. Kalau tujuannya untuk belajar, tidak harus dengan bahan yang mahal, kan?
Walaupun mahal, hobi juga bisa mendatangkan uang sehingga justru berbuah keuntungan.